Ayo Jalan Terus ! - Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno menampilkan gestur tubuh, perkataan tertentu hingga cara berpakaian ketika debat antar cawapres semalam. Hal itu mulai dari perilaku duduk Ma’ruf yang dinilai resmi hingga Sandiaga yang memanggil cawapres 01 itu dengan sebutan abah dan Pak Yai.
Pakar Semiotika ITB Acep Iwan Saidi mengungkapkan, secara umum, debat semalam datar dan bertempo lambat, terutama pada sesi pertanyaan dari panelis. Satu pertanyaan yang sama untuk para kandidat seakan memberi ruang pada penjawab kedua untuk memikirkan balasan yang akan disampaikan.
“Situasi itu cukup memberi akomodasi kepada cawapres 01 untuk mengatur stamina mengingat usia yang sudah tua. Pada sesi tanya jawab antar kandidat, nyaris tidak ada ‘kontra-argumen’ dan ‘kontra-gestut’. Kandidat 02 lebih menempatkan atau menghormati kandidat 01 sebagai orang bau tanah dan kiai,” ujar Acep dalam keterangannya, Senin (18/3).
Ma’ruf Berupaya Tenang
Secara khusus, Acep menganalisa ada pesan-pesan semiosis yang disampaikan kedua cawapres melalui perkataan hingga tindakan yang dilakukan. Misalnya cara Ma’ruf memegang mic.
“Penyampaian visi-misi dengan cara bangun di hadapan ‘mic berdiri’. Tangan kiri memegang gagang mic. Ketika mengeluarkan kartu peraga, ajun berganti memegang gagang mic, sedangkan tangan kiri mengacungkan kartu, paparan kurang komprehensif, tidak semua poin yang ‘dituntut’ tema sanggup terpenuhi (cenderung lebih banyak mengupas soal pendidikan). Hal itu memberikan indeks dari adanya teks yang dihapal, dan berusaha damai untuk itu,” tuturnya.
“Begitupun pada sesi berikutnya berbicara dengan mike lepas, bergerak dan bangun tidak jauh dari kursi. Hal itu memberikan indeks dari perilaku untuk membuka ruang gerak supaya bisa santai. Dan refleks dari usia yang tidak lagi muda (gerakan yang terbatas),” imbuh Acep.
Kemudian perilaku duduk Ma’ruf ketika debat. Sikap duduk Ma’ruf yang tampak resmi ketika lawan debatnya, yakni Sandiaga berbicara, dan mimik muka yang ditunjukkan Ma’ruf memperlihatkan perilaku yang kurang familiar pada lingkungan.
“Ketika lawan debat berbicara, kandidat duduk resmi (tidak santai), mimik ‘tak komunikatif’ (tanpa senyum, tanpa gerak mata, dan cenderung tidak memperhatikan lawan). Hal itu memberikan indeks dari perilaku yang lebih memusat pada diri sendiri, kurang familiar pada lingkungan, refleks dari salah satu perilaku orang tua,” ujar dia.
Cara Ma’ruf memberikan pernyataan dan tutur katanya juga tak luput dari analisis Acep. Ma’ruf menurutnya mencoba ‘mengejar’ balasan lawas atas pertanyaannya yang bersifat definitif, ibarat istilah sedekah putih. Hal ini, memberikan cara berpikir cawapres 01 itu text book dan mengabaikan uraian serta fokus menjatuhkan lawan.
“Beliau juga banyak memakai istilah berbahasa Arab dan beberapa dalil agama. Hal itu memberikan indeks dari kemampuan menguasai bahasa Arab dan refleks dari perilaku seorang kiai.
Selain itu, pernyataan epilog yang disampaikan Ma’ruf Amin berupa penegasan pada aktivitas yang telah dilakukan petahana yang akan terus disempurnakan, dan menyelipkan narasi berbasis pada konflik (tentang hoaks), dan perilaku diri terhadap konflik tersebut,” tutur Acep.
“Hal itu memberikan indeks dari perilaku memposisikan diri sebagai wakil presiden petahana; meyakinkan bahwa usia bukan persoalan, yang penting yaitu tekad usaha untuk bangsa. Di sisi lain terepresentasikan abjad yang cenderung mendefinisikan/menyikapi problem hanya dari perspektif diri. Bahwa hoaks hanya dilakukan oleh pihak lain, sedangkan pihaknya tidak demikian. Secara politis, hal ini merupakan indeks dari prosedur ‘menggoreng’ isu,” sambung dia.
Sandiaga Selipkan ‘Kenakalan Politis’
Sementara Sandiaga, yang membuka paparan dengan menyapa Ma’ruf dengan kata ‘abah’, ‘Pak Yai’, dan ‘Pak Kiai’ sekaligus mengucapkan selamat ulang tahun memberikan indeks perilaku menghormati orang tua. Namun, di situ, Sandiaga juga menyelipkan ‘kenakalan politis’ yang mengidentifikasi dan menegaskan kepada publik bahwa lawan debat jauh lebih bau tanah dari dirinya, lawan debat yaitu ‘abah’-nya.
“Sandiaga yang selalu tampak memperhatikan lawan debat dengan wajah tersenyum tipis juga memberikan perilaku menghormati dan mengapresiasi pihak lain,” katanya.
Berbeda dengan Ma’ruf yang berusaha tenang, cara Sandiaga memberikan visi-misi dengan mic lepas mencerminkan ketenangan. Meski terkesan ada teks yang dijadikan hapalan, namun hal itu seolah tertutupi dengan penguasaan yang cukup baik.
Kemudian, perilaku duduk Sandiaga juga lebih mencerminkan posisi yang rileks, dimana sesekali ia membuka gadget dan berjalan agak ke tengah panggung ketika berbicara. Sandiaga juga tampak selalu mengambil jeda untuk membetulkan jas sebelum bicara.
“Indeks dari perilaku damai dan santai, tetapi tetap serius. Memastikan bahwa sikapnya sudah benar. Sandiaga beberapa kali juga ‘mengibaskan’ tangan kepada pendukung ketika pendukung dianggap melaksanakan tindakan tidak respek terhadap lawan debatnya. Hal itu memberikan perilaku kepemimpinan (menunjukkan wibawa ke bulat internal) dan pada ketika yang sama memberikan kesantunan kepada pihak lain,” tuturnya.
Acep juga menilai Sandiaga yang mengedepankan perkara riil sebaggai latar belakang aktivitas dan argumennya memberikan bahwa pasangan Prabowo itu tidak bicara sembarangan melainkan dengan fakta empirik. Kemudian, Sandiaga yang beberapa kali menyampaikan ‘jangan saling menyalahkan’, ‘ini bukan permasalah pilpres saja, tapi perkara besar Indonesia kedepan’ merupakan indeks dari perilaku keberanian sosial dan keikhlasan. “Nyaris seluruh pemaparan Sandiaga sesuai dengan durasi yang ditentukan, kecuali pada waktu sisa di segmen tanya jawab. Hal itu memberikan ketenangan dan kontrol emosi yang baik dan penguasaan bahan yang juga baik. Kontrol waktu ini yaitu titik unggul paling menonjol kandidat 02 dari 01,” ujar Acep.
“Sementara pernyataan epilog Sandiaga memberikan perilaku yakin terhadap segala hal yang telah disampaikan dalam debat dan pernyataan bahwa ia lebih baik dari lawan debatnya. Tiga kartu terlalu banyak, tidak efektif, dan pemborosan biaya, padahal sudah tersedia satu kartu multiguna. Dalam debat, ini yaitu ‘retorika-metaforik’ untuk mematahkan seluruh gagasan lawan sepanjang debat berlangsung,” sambung dia. (dtk)
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
0 komentar